fbpx

Muslim Boleh Berpolitik?

SAAT ini bangsa Indonesia mengalami berbagai problematika yang unik. Disebut unik karena di dalamnya juga dibumbui dengan berbagai respon yang khas dari setiap lapisan masyarakat. Mulai dari adanya berita-berita ‘panas’ yang menghiasi media, baik cetak maupun elektronik. Kemudian respon yang beragam dari konsumen berita, maka populerlah istilah berita ‘hoax’.

Hal ini tak lain karena kebebasan media informasi yang siapa saja dapat memberitakan apa saja. Juga penerima informasi yang siapa saja punya penilaian apa saja, tergantung keinginan ataupun tokoh yang diidolakan. Maka selain muncul orang yang mudah menerima informasi, juga ada orang yang mudah menuduh ‘hoax’, tergantung keberpihakan masing-masing.

Umat Muslim sebagai penduduk mayoritas di negeri ini tentu turut merasakan getirnya keadaan ini. Tak jarang justru yang muncul adalah konflik internal, bahkan di kalangan elitnya (baca: Ulama). Masalah yang cukup hangat belakangan adalah persoalan agama di ruang publik, persoalan Muslim dalam ruang politik, termasuk urusan memilih pemimpin. Lalu kemudian ada sebagian orang—bahkan dari kalangan Muslim sendiri—yang mengatakan, “ini masalah politik, jangan bawa-bawa agama”, juga “Jangan gunakan dalil-dalil agama untuk kepentingan politik”, dan semisalnya.

Dr. Adian Husaini dalam bukunya 10 Kuliah Agama Islam (2016) menyatakan, “Karena begitu fundamentalnya keberadaan iman dalam diri seorang Muslim, maka tidaklah patut seorang menyatakan bahwa dalam masalah tertentu janganlah Islam dibawa-bawa”. Bagi seorang Muslim, agama tidak pernah lepas dari dirinya. Karena Islam memiliki aturan untuk segala aspek kehidupan manusia. Jadi bukan berarti seseorang ketika memasuki ruang sidang di parlemen, lalu ia meninggalkan imannya di parkiran.

Dalam buku tersebut Dr. Adian juga menyebut Machiavelli, seorang pemikir politik, yang mengajak para penguasa untuk berpikir praktis demi mempertahankan kekuasaan, yaitu mesti meninggalkan nilai-nilai moral. Tujuan utama pemerintahan bagi Machiavelli adalah survival (mempertahankan kekuasaan). Yang terpenting dari pemikiran Machievelli adalah ia telah mengangkat persoalan politik dari aspek moral dan ketuhanan. Sejarawan Marvin Perry juga mencatat bahwa nilai penting dari pemikiran Machievelli adalah usahanya melepaskan pemikiran politik dari kerangka agama dan meletakkan politik semata-mata urusan ilmuwan politik.

Pandangan bahwa agama tidak boleh dibawa ke ruang politik akan membentuk kegiatan politik yang tanpa arah, berorintasi pada kekuasaan semata. Hal ini mungkin saja akan berujung pada ketidakpercayaan terhadap Tuhan (atheisme). Karen Armstrong dalam History of God (1993) mengutip Jean-Paul Sartre (1905-1980) yang mengatakan, “Ide tentang Tuhan akan membatasi atau mengganggu kebebasan manusia. Maka demi kebebasan (freedom), bebaskan manusia dari Tuhan! Lupakan Tuhan, agar manusia dapat menikmati kebebasan”.

Lalu Dr. Adian Husaini dalam bukunya Membendung Arus Liberalisme di Indonesia (2009) mengomentari ungkapan Sartre tersebut dengan melihat sejarah, karena Manusia barat—setelah terkungkung dan tertindas oleh agama (Kristen) selama ratusan tahun—akhirnya merasa lahir kembali (renaissance). Selanjutnya Dr. Adian Husaini mengutip ceramah Prof. Dr. Hamka di Sekolah Tinggi Theologi Kristen Jakarta yang menyatakan, “Baik Islam maupun Kristen, harusnya tidak dapat mengkhayalkan negara yang terpisah dari agama, karena jika negara terpisah dari agama, hilanglah tempat dia ditegakkan”.

Islam memandang bahwa negara, menurut Dr. Adian Husaini, adalah penyelenggara atau khadam (pelayan) dari manusia. Sedang manusia adalah kumpulan dari pribadi-pribadi. Maka tidaklah dapat tergambar dalam pemikiran bahwa seorang pribadi, karena telah bernegara, dia pun terpisah dengan agamanya.

Oleh karenanya seorang Muslim, termasuk kalangan ulama, seharusnya boleh dan dianjurkan membawa nilai-nilai ajaran islam di segala ruang, termasuk ruang politik. Dalam kaitannya dengan memilih pemimpin, seharusnya para ulama berhak menjelaskan karakteristik seseorang yang boleh dan tidak boleh diangkat menjadi pemimpin sesuai tuntunan Islam. Menjadi rancu ketika ajakan memilih pemimpin yang seiman disebut ‘intoleran’, karena itu bukan ‘wilayah ulama’ katanya.

Padahal pemimpin adalah faktor yang penting dalam menentukan masa depan. Maka Dr. Fuad Amsyari dalam bukunya Masa Depan Umat Islam Indonesia (1993) memaparkan kriteria kualitas individu yang baik untuk menjadi pemimpin. Beliau menyebutkan bahwa kekuatan manusia pada hakikatnya terletak pada empat bagian anatomis, yakni kalbu, intelektualitas, fisik dan emosi yang dimilikinya. Menurut Dr. Fuad, pemimpin yang baik adalah manusia yang baik kualitas kalbunya (penggerak), dan mantap kemampuan jasadnya (sarana) dalam bentuk yang cerdas, sehat, dan matang emosinya.

Maka semakin jelaslah bahwa agama bisa ‘dibawa-bawa’ ke wilayah politik. Dengan catatan bahwa tidak ada ‘tujuan lain’ yang menungganginya. Aktivis dan tokoh-tokoh Muslim mestinya berkesempatan untuk menjelaskan umat tentang urusan ini. Bukan justru berpemahaman sempit bahwa Islam hanya mengatur urusan shalat, puasa, zakat dan haji semata.

Kaum Muslim mestinya menempatkan politik sebagai bagian dari aktivitas ibadah. Sebagaimana tujuan penciptaan manusia adalah untuk ibadah (lih. QS. al-Dzariyat [51]: 56). Karena itu, ada nilai-nilai agama yang harus dipegang oleh para politikus. Sebab, kekuasaan bukanlah tujuan akhir politik.

Namun ibadah kepada Allah yang menjadi tujuan akhirnya. Orietasinya adalah mengharap ridha Allah. Bukan politik untuk politik, tetapi politik untuk ibadah. Selanjutnya menjadi tugas bagi kaum Muslim, terkhusus politikusnya, juga ulamanya, untuk membuktikan bahwa ‘membawa’ agama ke wilayah politik dapat membuahkan kemaslahatan bagi umat.

admin

Lembaga Filantropi yang bergerak di bidang pengelolaan zakat, infaq, shadaqah, dan dana kemanusiaan. Lembaga Amil Zakat SK Kementrian Agama RI No.599 Provinsi Jawa Barat.

See all posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are makes.

WhatsApp Kami